Landasan
Kebijakan
Dokumen
Penilaian Proyek (PAD) Bank Dunia menggariskan bahwa seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan kelembagaan
masyarakat/komunitas diberikan/diserahkan mekanismenya melalui Forum kelurahan (KF). Forum
tersebut diharapkan dapat memobilisasi seluruh keahlian dan kelembagaan lokal
yang ada, baik dari sektor swasta maupun sektor informal, untuk membantu menggerakkan kegiatan melalui proses penetapan prioritas dan pengambilan
keputusan.
Pedoman Umum Pelaksanaan P2KP menyebutkan bahwa
salah satu diantara tujuan yang ingin dicapai P2KP seperti yang tercantum dalam
Bab II sub-bab 2.1. butir-c adalah “terciptanya organisasi masyarakat warga yang memiliki
pola kepemimpinan kolektif yang representatif, akseptabel, inklusif, tanggap
dan akuntabel yang mampu memberikan pelayanan
kepada masyarakat miskin perkotaan dan memperkuat suara masyarakat miskin dalam
proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik”.
Pengertian tentang Organisasi Masyarakat Warga menurut
Pedoman Umum ( Bab III sub-bab 2 Ketentuan Umum butir-b) adalah : “organisasi
warga yang diprakarsai dan dikelola secara mandiri oleh warga, yang secara
damai berupaya memenuhi kebutuhan atau memperjuangkan kepentingan bersama
dengan tetap menghargai hak orang lain untuk berbuat yang sama. Sifat organisasi
masyarakat warga adalah terbuka (inklusif), mengakar, demokratis dengan tetap
mempertahankan sifat independen dan otonom terhadap institusi pemerintah,
politik, militer, keluarga, agama dan usaha”. Adapun yang membentuk organisasi
masyarakat warga adalah warga yang sadar seperti tercantum dalam pernyataan
berikut : “warga yang sadar akan potensi dan persoalan yang masih harus
diselesaikan tersebut harus mampu membentuk organisasi masyarakat warga (civil
society organization).
Lebih lanjut Pedoman Umum menyimpulkan dengan
menyatakan “dengan demikian organisasi masyarakat
warga yang ingin dibangun dalam P2KP adalah organisasi yang
berdasarkan pada ciri-ciri sukarela, kesetaraan, kemitraan, demokrasi,
kemandirian, otonomi, proaktif, semangat saling membantu, menghargai keragaman
dan kedamaian. Mengutip Pedoman Umum “organisasi
masyarakat warga ini, dilegalisasi secara hukum sebagai asosiasi/perhimpunan
warga. Untuk memimpin organisasi
masyarakat warga ini, dipilih pimpinan kolektif yang terdiri dari pribadi-pribadi
yang dipercaya warga berdasarkan kriteria kemanusiaan yang disepakati bersama
dan dapat mewakili warga dalam
berbagai kepentingan. Pimpinan kolektif warga
ini kemudian secara jenerik disebut BKM. Tidak satupun anggota BKM yang memiliki hak
istimewa (privaillage) dan semua hasil keputusan BKM dilaksanakan secara
kolektif, melalui mekanisme Rapat Anggota BKM”.
Masyarakat di kelurahan sasaran dapat membangun
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), maupun memampukan
lembaga-lembaga yang telah ada melalui peningkatan peran-perannya, selama
lembaga tersebut sebagai bagian integral dari masyarakat warga juga telah memenuhi kriteria, ciri dan sifat
organisasi masyarakat yang dimaksud dalam P2KP. Kemudian pengertian masyarakat menurut P2KP
tercantum dalam sub-bab 2 butir-a,
yang menyatakan “pengertian masyarakat dalam P2KP adalah
seluruh warga peserta P2KP baik yang kaya maupun miskin, kaum minoritas,
pendatang dan penduduk asli setempat-yang setelah melalui proses pemberdayaan
dapat menyadari dan memahami kondisi kelurahan mereka serta persoalan
kemiskinan yang masih dihadapi dan sepakat perlunya mengorganisasi diri untuk
menanggulangi persoalan kemiskinan tersebut secara sistematik”
Dalam pada itu Pedoman Teknis sub-bab
2.3.4. tentang Pengorganisasian Masyarakat melalui Pembentukan Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam Ketentuan Dasar butir-b di alinea kedua dan
ketiga menyatakan bahwa “BKM
merupakan Organisasi masyarakat/Institusi lokal yang dibentuk,
dikelola, dan diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Sehingga hakekat
BKM lebih menampakkan wujud sebagai paguyuban atau perkumpulan seluruh warga
masyarakat setempat. Dengan demikian, istilah BKM tidak ditafsirkan sebagai
bentuk atau struktur lembaga baru tertentu, tetapi lebih dimaksudkan sebagai
peran serta fungsi kemandirian dan keswadayaan maupun karakteristik dan sifat
dari organisasi masyarakat warga ditingkat kelurahan.
3.2 Analisis Strategi
Pengembangan Kelembagaan
Dengan mengutip ketentuan dalam Project Appraisal
Document dapat ditarik satu penafsiran bahwa pada tingkat kelurahan diperlukan
adanya Forum Kelurahan. Forum
kelurahan ini berperan untuk mengelola
kelembagaan dan komunitas.
Tujuan adanya forum ini adalah untuk
memobilisasi potensi lokal baik keahlian yang
ada, lembaga lokal yang ada agar kegiatan-kegiatan dapat digerakkan,
agar prioritas dapat ditetapkan dan agar keputusan-keputusan yang diperlukan
dapat dibuat melalui proses mobilisasi tersebut.
Pedoman umum menyebutkan perlunya Organisasi Masyarakat
Warga (civil soceity organization) adalah untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin perkotaan dan untuk memperkuat
suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan kebijakan publik. Ketentuan yang ditetapkan dalam PAD dengan
Pedoman Umum nampaknya kurang konsisten. PAD menyebut Forum Kelurahan,
mengelola kelembagaan dan komunitas, dan pembuatan keputusan, sementara itu
Pedoman umum menggunakan istilah Organisasi Masyarakat Warga, dan istilah
memberikan pelayanan dan memperkuat suara masyarakat miskin, dan pengambilan
keputusan tentang kebijakan publik.
Lebih lanjut pedoman umum tidak secara eksplisit menyatakan bahwa
Organisasi Masyarakat Warga adalah BKM. Menurut Pedoman Umum BKM adalah
Pimpinan Kolektif Warga. Berkaitan dengan itu Petunjuk Teknis
Pelaksana BKM menyebutkan bahwa BKM adalah
istilah untuk suatu institusi/lembaga masyarakat dengan kedudukan sebagai
pimpinan kolektif dari suatu organisasi masyarakat warga di tingkat kelurahan.
Dari sumber ini pula disebutkan bahwa BKM adalah lembaga pimpinan kolektif dari
suatu organisasi masyarakat warga yang berbentuk paguyuban
atau himpunan dan dalam Ketentuan dasar disebutkan bahwa BKM adalah Organisasi Masyarakat/Institusi Lokal.
Pengertian tentang BKM, status dan
fungsi BKM menjadi bias karena pengertian tentang Pimpinan Kolektif Warga,
institusi/lembaga masyarakat dengan kedudukan sebagai pimpinan kolektif, dapat
memiliki tafsiran pengertian yang berbeda. Demikian pula halnya dengan istilah
organisasi masyarakat, institusi/lembaga masyarakat, paguyuban dan institusi
lokal.
Pernyataan-pernyataan dan
istilah-istilah yang disebut diatas mengandung latar belakang yang terkait
dengan aspek teoritis dan konsepsi sehingga pengertian dan istilah yang
digunakan patut diklarifikasi lebih lanjut. Pada tatanan implementasi,
pemahaman dan pengertian terhadap pernyataan dan istilah-istilah yang digunakan
mendatangkan tafsiran yang berbeda pula. Klarifikasi atau penjernihan terhadap
hal prinsipil dan esensial ini tidak pernah dilakukan secara formal dan
terbuka. Hal ini terjadi karena dibalik pengertian dan istilah yang digunakan
terkandung konsep dan pemikiran serta dasar-dasar teoritis.
KMP dalam perannya sebagai
pengendali dan pengawas pelaksanaan proyek telah menyusun Aturan Penyusunan
Kelembagaan Masyarakat yang menyangkut
pembentukan, prinsip, visi dan missi BKM. Kendati tidak terdapat
keputusan formal yang mendukung atau mensyahkan aturan ini namun acuan/aturan
ini dijadikan koridor dalam pembentukan
BKM dan penyempurnaan proses pembentukan BKM yang tidak sesuai dengan koridor
yang ditetapkan.
Beberapa indikasi implikasi yang dapat dicatat
dalam kaitan pengembangan kelembagaan ini adalah sebagai berikut :
·
Terjadinya
pergeseran dan perkembangan konsep kelembagaan dari yang tercantum dalam PAD
dengan yang tercantum dalam Pedoman Umum, Pedoman Teknis dan Buku Petunjuk
Teknis Pelaksana BKM. Kronologis dari perubahan-perubahan dan penjelasan esensi
perubahan tidak memiliki dokumen yang dapat dijadikan landasan pengambilan
keputusan dalam implementasi.
·
Konsepsi yang dikembangkan dari ketentuan PAD seperti
tertuang dalam Pedoman Umum dan Teknis mengandung konsepsi dan
pemahaman-pemahaman baru dan masih mendatangkan bias yang membutuhkan klarifikasi dan penjelasan
lanjut atau penyempurnaan lanjut. Baik klarifikasi maupun penyempurnaan
lanjut tidak dilakukan sehingga pada
tatanan implementasi terjadi multi persepsi dan multi tafsiran tentang
kelembagaan dan pengembangan kelembagaan.
·
Terkait
dengan butir diatas pelaku pengembangan kelembagaan di tingkat KMW melaksanakan
pengembangan kelembagaan menurut tafsiran masing-masing dan menyusun pedoman
pelaksanaan yang berbeda untuk substansi yang sama.
·
Adanya
perbedaan tafsiran dan kurangnya penegasan dan penjelasan lanjut bersamaan
dengan kurang terpadunya pengarahan karena multi penafsiran terhadap konsep
pengembangan kelembagaan berdampak pada tertundanya pembentukan BKM.
·
Koridor
Aturan Kelembagaan Masyarakat yang disusun oleh KMP dapat secara efektif
digunakan oleh KMW sebagai acuan pembentukan dan koreksi kekeliruan proses
pengembangan kelembagaan masyarakat.
0 comments:
Post a Comment